top of page

Mahalnya Biaya Berobat, Dari Jatuh Sakit Bisa Jatuh Bangkrut

Diperbarui: 27 Sep 2021


Jakarta, CNBC Indonesia- Bagi orang Indonesia, ketika divonis terkena suatu penyakit kadang-kadang hal yang pertama ditakuti bukan masalah sembuh atau tidaknya. Tetapi justru apakah mereka memiliki uang yang cukup untuk mengobati penyakitnya.


Mahalnya Biaya Berobat, Dari Jatuh Sakit Bisa Jatuh Bangkrut


Seperti yang dialami oleh Radian Nyi Sukmasari yang divonis kanker payudara stadium 3 ketika usianya menginjak 26 tahun.


Saat bercerita dengan CNBC Indonesia, wanita yang biasa dipanggil Dian itu mengaku didiagnosis kanker payudara pada Desember 2017. Ia sempat terkejut karena selama ini sehat-sehat saja, tapi tahu-tahu dibilang terkena kanker stadium 3.


Ketika divonis dokter, diakui Dian, ketakutan terbesar bukan karena penyakit melainkan biaya pengobatannya. "Saat divonis yang ada di pikiranku cuma 'Duh, gua punya uang cuma sedikit dan nggak punya tabungan'. Andai aku punya uang Rp 200 juta mungkin akan lebih tenang karena aku tahu biaya pengobatan kanker itu banyak," cerita Dian saat berbincang di kawasan Tendean, Jakarta Selatan.


Dian mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki tabungan baik berupa aset maupun bentuk lainnya. Ia juga tidak membeli asuransi kesehatan atau ikut BPJS karena tak pernah mengira akan menjadi penderita kanker.


Ia kemudian memikirkan bagaimana cara untuk membayar biaya berobat ke depannya. Biaya yang dibutuhkan tentu tidak murah dan ia hanya punya asuransi kantor.

Pengobatan seperti pemasangan pemeriksaan PET SCAN (positron emission tomography scanning) misalnya membutuhkan biaya kurang lebih Rp 11 juta. Ia juga dijadwalkan menjalani operasi pemasangan cell site untuk persiapan kemoterapi sehari setelah divonis. Biaya operasi yang dibutuhkan mencapai Rp 44 juta. Demi membayar biaya tersebut, Dian rela berhutang kepada kantor yang memberikan dana talangan terlebih dahulu.


"Habis divonis, operasi cell site keesokan harinya nggak bisa ditunda karena dokter yang menanganiku mau pergi ke Jerman. Dapat uang dari mana segitu besar dalam satu hari? Akhirnya kantor mau menalangi dulu buat biaya operasi cell site," ujarnya.


Setelah operasi cell site, Dian harus menjalani lima kali kemoterapi rutin setiap tiga minggu sekali. Biaya kemoterapi menelan dana sekitar Rp 4 juta sampai Rp 6 juta untuk sekali perawatan. Angka tersebut ia berusaha minimalkan dengan membeli obat dari luar rumah sakit.


Dian memutuskan untuk membeli obat kemoterapi kanker payudara jenis generik seharga Rp 2,5 juta di Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Berbeda dengan obat kemoterapi jenis paten yang harganya Rp 8 juta. Sementara biaya paket kemoterapi di rumah sakit swasta sekitar Rp 1,5 juta sampai Rp 3 juta tergantung apakah ada tambahan pemeriksaan lain seperti radiologi atau semacamnya.


Dian memulai pengobatan kemoterapi sejak Januari 2018 sampai saat ini. Ia mengatakan biaya berobatnya sebagian ditanggung asuransi kantor dan uang pribadi. Dian mengatakan tidak menggunakan BPJS walaupun sempat mendaftarkan diri sebagai pasien BPJS pada Januari lalu. Ia hanya ingin merasakan fasilitas yang nyaman ketika berobat melihat banyak orang mengeluhkan tentang layanan BPJS.


"Bayar pribadi saja kadang masih suka nggak sesuai pelayanannya apalagi pakai BPJS. Kondisi aku juga nggak bisa diprediksi kadang bisa drop banget, kayaknya nggak kebayang kalau pakai BPJS yang banyak tahapannya," tambahnya.


Dian pun mengaku menguras semua gajinya untuk biaya berobat. Meski demikian, ia masih bersyukur memiliki keluarga dan teman yang peduli terhadap kondisinya. Dian mendapatkan bantuan dana dari donasi yang digalang secara online oleh teman-teman. Meski dana tersebut sangat membantunya tentu tidak bisa menutupi semua biaya.

Belum lagi biaya operasi mastektomi (pengangkatan payudara) yang sebentar lagi akan dijalaninya. Dian sendiri belum mengetahui berapa biaya operasi yang akan dihabiskan. Tidak hanya itu, kondisi tubuh yang lebih lemah dari sebelumnya diakui Dian membuat pengeluaran operasionalnya semakin besar.


Secara keseluruhan, Dian menghabiskan biaya pengobatan lebih dari Rp 100 juta sampai saat ini. Biaya tersebut belum termasuk uang operasional yang dikeluarkan serta dana untuk operasi mastektomi dan perawatan setelahnya.


Dian pun mengaku ada penyesalan karena selama bekerja tak pernah menabung. "Sakit itu mahal, butuh duit, sisihkan uangmu buat ditabung kalau perlu khusus tabungan kesehatan. Dan buat para perempuan jangan lupa sadari kanker payudara sejak dini karena kalau ketahuan di awal akan lebih baik, biayanya juga nggak sebesar kalau sudah stadium lanjut," pesan Dian di akhir perbincangan.


Dian Bukan Satu-Satunya, Lalu Apa yang Bikin Biaya Rumah Sakit Tinggi?


Cerita Dian tentunya bukan satu-satunya cerita tentang tantangan hidup yang dihadapi warga Jakarta soal biaya pengobatan. Bisa saja anda, kerabat, atau kenalan anda memiliki kisah yang serupa soal habis-habisan keluar dana berobat.


Lebih takut tidak sanggup bayar ketimbang tidak dapat sembuh menjadi tanda tanya begitu mahalnya kah biaya pengobatan rumah sakit saat ini, terutama rumah sakit swasta? Lantas apa yang menyebabkan rumah sakit menjadi mahal?


Soemaryono Rahardjo, SE, MBA, selaku perwakilan dari Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) menjelaskan selalu ada peningkatan tarif di rumah sakit swasta di Indonesia. Itu terjadi karena mengikuti laju inflasi. Selain itu, perkembangan teknologi juga mempengaruhi biaya berobat di rumah sakit.


"Setiap rumah sakit berbeda-beda terutama karena teknologi semakin maju. Inflasi sudah jelas dan untuk membuat ID itu kan nggak murah ya," ujar Soemaryono saat diwawancara CNBC Indonesia usai acara Indonesia Hygiene Forum dari Unilever di Thamrin Nine, Chubb Square, Jakarta Pusat.


Lebih lanjut, Soemaryono mengatakan bahwa harga obat setiap tahun terus meningkat. Biaya obat menjadi modal tertinggi yang mempengaruhi sekitar 35% sampai 40% dari tarif rumah sakit. Soemaryono juga menuturkan kalau rumah sakit swasta semua modal menggunakan dana pribadi. Berbeda dengan rumah sakit pemerintah yang memiliki berbagai subsidi termasuk pembelian alat.


"Kalau swasta semua sendiri kalau pemerintah ada subsidinya. Semua alat kita modal sendiri, kalau pemerintah gaji ditanggung, investasi alat ditanggung. Untuk balik modal itu kan harus ada hitungannya," tambahnya.


Sementara, Fajaruddin Sihombing perwakilan dari Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) menjelaskan bahwa faktor mahal yang ditanggung pasien biasanya terjadi karena tak ada rujukan kedokteran yang terpadu, juga kurangnya regulasi pada pelayanan kedokteran.


Pelayanan, kata dia, juga terkesan komersil karena faktor digitalisasi yang membuat biaya meningkat. Ia juga menjelaskan semakin meningkatnya pelayanan kesehatan maka bisnis pelayanan kedokteran juga terkena dampak komersialisasi, dan berimbas pada tingginya ongkos kesehatan.


Tetapi, kata Fajar, masyarakat memiliki pilihan untuk menindak atau mengatasi penyakitnya dengan memanfaatkan akses kesehatan publik yang dijamin pemerintah. "Apalagi sekarang sudah banyak rumah sakit yang menerima layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari pemerintah, dan bisa mengurangi beban biaya si pasien," ujar Fajar kepada CNBC Indonesia saat ditemui acara Forum Diskusi Philips Indonesia.


Sumber : CNBC Indonesia,


Comentários


VOGADIGITAL
2025

bottom of page