Pengertian Lupus
Lupus adalah penyakit peradangan (inflamasi) kronis yang disebabkan oleh sistem imun atau kekebalan tubuh yang menyerang sel, jaringan, dan organ tubuh sendiri. Penyakit seperti ini disebut penyakit autoimun. Lupus dapat menyerang berbagai bagian dan organ tubuh seperti kulit, sendi, sel darah, ginjal, paru-paru, jantung, otak, dan sumsum tulang belakang.
Pada kondisi normal, sistem imun akan melindungi tubuh dari infeksi. Akan tetapi pada penderita lupus, sistem imun justru menyerang tubuhnya sendiri. Penyebab terjadinya lupus pada seseorang hingga saat ini belum diketahui. Sejauh ini, diduga penyakit yang lebih menyerang wanita dibandingkan dengan laki-laki ini dipengaruhi oleh beberapa faktor genetik dan lingkungan.
Jenis-jenis Lupus
Penyakit lupus terbagi ke dalam beberapa jenis, antara lain:
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus/SLE)
Lupus ini terjadi secara menyeluruh (sistemik) pada tubuh penderita dan merupakan jenis lupus yang paling sering terjadi. Dinamakan lupus sistemik dikarenakan terjadi pada berbagai organ, terutama sendi, ginjal, dan kulit. Gejala utamanya adalah inflamasi kronis pada organ-organ tersebut.
Lupus eritematosus kutaneus (cutaneous lupus erythematosus/CLE)
Merupakan manifestasi lupus pada kulit yang dapat berdiri sendiri atau merupakan bagian dari SLE. CLE dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu acute cutaneous lupus erythematosus (ACLE), subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), dan chronic cutaneous lupus erythematosus (CCLE).
Lupus akibat penggunaan obat
Beberapa jenis obat dapat menimbulkan gejala yang terlihat mirip dengan gejala lupus, pada orang yang tidak menderita SLE. Akan tetapi jenis lupus ini bersifat sementara dan akan menghilang dengan sendirinya beberapa bulan setelah berhenti mengonsumsi obat yang memicu gejala lupus tersebut. Beberapa jenis obat yang dapat menyebabkan lupus jenis ini, antara lain metildopa, procainamide, D-penicillamine (obat untuk mengatasi keracunan logam berat), serta minocycline (obat jerawat).
Lupus Eritematosus Neonatal
Lupus eritematosus neonatal merupakan jenis lupus yang terjadi pada bayi baru lahir. Lupus neonatal diakibatkan oleh autoantibodi, yaitu anti-Ro, anti-La, dan anti-RNP. Ibu yang melahirkan anak yang menderita lupus eritematosus neonatal belum tentu mengidap lupus. Biasanya lupus eritematosus neonatal hanya terjadi pada kulit dan akan menghilang dengan sendirinya. Namun pada kasus yang jarang, lupus neonatal dapat menyebabkan congenital heart block, yaitu gangguan irama jantung pada bayi baru lahir. Kondisi ini dapat diatasi dengan cara memasang alat pacu jantung.
Gejala Lupus
Jenis lupus yang menjadi pembahasan utama dalam artikel ini adalah lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus/SLE). Gejala ini sangat beragam, karena tergantung organ mana yang terkena lupus. Tidak pernah ditemukan dua kasus yang sama persis. Gejala lupus SLE dapat muncul dan berkembang secara perlahan, yang artinya mulai dari ringan hingga parah.
Meski gejala SLE bervariasi, ada tiga gejala utama yang umumnya selalu muncul, yaitu:
Rasa lelah yang ekstrem. Inilah gejala paling umum pada SLE yang sering dikeluhkan para penderita. Rasa lelah yang ekstrem sangat mengganggu dan menghambat aktivitas. Banyak penderita yang menyatakan bahwa gejala ini merupakan dampak negatif terbesar dari SLE dalam kehidupan mereka. Melakukan rutinitas sehari-hari yang sederhana, misalnya tugas rumah tangga atau rutinitas kantor, dapat membuat penderita SLE sangat lelah. Rasa lelah yang ekstrem tetap muncul bahkan setelah penderita cukup beristirahat.
Ruam pada kulit. Yang menjadi ciri khas SLE adalah ruam yang menyebar pada batang hidung dan kedua pipi. Gejala ini dikenal dengan istilah ruam kupu-kupu (butterfly rash) karena bentuknya yang mirip sayap kupu-kupu. Bagian tubuh lain yang mungkin ditumbuhi ruam adalah tangan dan pergelangan tangan. Ruam pada kulit akibat SLE dapat hilang atau membekas secara permanen, terasa nyeri dan gatal dan bertambah parah jika terpapar sinar matahari.
Nyeri pada persendian. Gejala utama lain dari SLE adalah rasa nyeri. Gejala ini umumnya muncul pada persendian tangan dan kaki penderita yang biasanya memburuk di pagi hari. Rasa nyeri juga mungkin dapat berpindah dengan cepat dari sendi satu ke sendi lain. Tetapi SLE umumnya tidak menyebabkan kerusakan atau cacat permanen pada persendian. Itulah yang membedakan SLE dengan penyakit lain yang juga menyerang persendian.
Ada beragam gejala lain yang dapat muncul selain yang utama. Tetapi tidak semua gejala tersebut akan dialami penderita. Banyak penderita yang hanya mengalami gejala utama.
Berikut adalah gejala-gejala lain yang dapat dialami oleh penderita SLE:
Sariawan berulang.
Demam yang tidak diketahui penyebabnya.
Hipertensi.
Limfadenopati.
Sakit kepala.
Migrain.
Rambut rontok.
Mata kering.
Depresi.
Nyeri dada.
Hilang ingatan.
Napas pendek akibat anemia, inflamasi paru-paru atau jantung.
Retensi dan akumulasi cairan tubuh, salah satunya terjadi pembengkakan pada pergelangan kaki.
Jari-jari tangan dan kaki yang memutih atau membiru jika terpapar hawa dingin atau karena stres (fenomena Raynaud).
Penyebab Lupus
Walaupun penyebab SLE belum diketahui, namun interaksi faktor genetik, lingkungan, dan hormonal diduga menjadi penyebabnya. Akan tetapi, bagaimana mekanismenya belum dapat dipastikan.
Beberapa faktor yang diduga dapat memicu timbulnya SLE pada seseorang, antara lain adalah:
Faktor genetik. Diduga terdapat hubungan antara pengaruh faktor genetik dan lupus karena seringkali ditemukan adanya anggota keluarga penderita yang juga merupakan penderita lupus.
Hormon. Sembilan dari sepuluh penderita lupus adalah wanita. Wanita menghasilkan hormon estrogen lebih banyak dibanding pria. Estrogen diketahui sebagai hormon yang memperkuat sistem kekebalan tubuh (immunoenhancing), yang artinya wanita memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat dibanding dengan pria. Untuk alasan ini, wanita lebih mudah terserang penyakit autoimun bila dibandingkan dengan pria. Perubahan hormon saat masa pubertas atau kehamilan juga dapat memicu timbulnya lupus. Tingginya kadar estrogen saat hamil diduga memicu lupus.
Lingkungan. Berbagai macam faktor lingkungan yang diduga dapat memicu timbulnya lupus antara lain infeksi bakteri dan virus (salah satunya virus Epstein Barr), stres, paparan sinar matahari (ultraviolet), merokok, serta beberapa zat kimia seperti merkuri dan silika.
Diagnosis Lupus
Gejala lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus/SLE) kerap mirip dengan penyakit lain yang sangat umum, sehingga sulit untuk didiagnosis. Selain itu, gejala yang dialami tiap penderita juga berbeda dan terkadang tidak konsisten. Ada penderita yang mungkin hanya merasakan gejala ringan untuk beberapa waktu atau tiba-tiba bertambah parah pada saat-saat tertentu.
Selain gejala yang ditemukan, dibutuhkan beberapa pemeriksaan untuk mendiagnosis SLE.
Pemeriksaan Laboratorium
Ada beberapa jenis pemeriksaan yang biasanya dianjurkan jika dokter mencurigai seseorang menderita SLE. Kombinasi dari hasil tes-tes tersebutlah yang dapat membantu mengonfirmasi diagnosis SLE.
Penghitungan sel darah lengkap (complete blood count). Penderita lupus dapat mengalami anemia sehingga dapat diketahui melalui pemeriksaan sel darah lengkap. Selain terjadinya anemia, penderita lupus juga dapat mengalami kekurangan sel darah putih atau trombosit.
Analisis urine. Urine pada penderita lupus dapat mengalami kenaikan kandungan protein dan sel darah merah. Kondisi ini menandakan bahwa lupus menyerang ke ginjal.
Pemeriksaan ANA (antinuclear antibody). Pemeriksaan ini digunakan untuk memeriksa keberadaan sel antibodi tertentu dalam darah dimana kebanyakan pengidap SLE memilikinya. Sekitar 98% penderita lupus memiliki hasil positif jika dilakukan tes ANA sehingga ini merupakan metode yang paling sensitif dalam memastikan diagnosis.
Pemeriksaan imunologi. Di antaranya adalah anti-dsDNA antibody, anti-Sm antibody, antiphospholipid antibody, syphilis, lupus anticoagulant, dan Coombs’ test. Pemeriksaan imunologi tersebut merupakan salah satu kriteria dalam penentuan diagnosis SLE.
Tes komplemen C3 dan C4. Komplemen adalah senyawa dalam darah yang membentuk sebagian sistem kekebalan tubuh. Level komplemen dalam darah akan menurun seiring aktifnya SLE.
Pemindaian
Ekokardiogram. Ekokardiogram berfungsicara mendeteksi aktivitas jantung dan denyut jantung menggunakan gelombang suara. Kerusakan katup dan otot jantungpada penderita lupus, dapat diketahui melalui ekokardiogram.
Foto rontgen. Lupus dapat menyebabkan peradangan pada paru-paru, ditandai dengan adanya cairan pada paru-paru. Pemeriksaan Rontgen dapat mendeteksi adanya cairan paru-paru tersebut.
Pengobatan Lupus
Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus/SLE) tidak bisa disembuhkan, namun terdapat rangkaian fase aktif (flare) dan fase tenangnya penyakit. Tujuan pengobatan yang tersedia adalah untuk mengurangi tingkat keparahan gejala, mencegah kerusakan organ, serta meminimalkan dampaknya pada kehidupan penderita SLE.
Jenis obat dan dosis yang diberikan kepada satu penderita lupus tidak sama dengan penderita lupus yang lain, dan dapat berganti dari waktu ke waktu tergantung dari gejala yang dirasakan dan tingkat keparahannya.
Berikut ini adalah obat-obatan yang mungkin dibutuhkan oleh penderita SLE:
Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS). Nyeri sendi atau otot merupakan salah satu gejala utama SLE. Dokter akan meresepkan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs) untuk mengurangi gejala ini seperti ibuprofen dan diclofenac. Meski demikian, penderita SLE sebaiknya waspada terhadap efek samping OAINS seperti perdarahan lambung, masalah pada ginjal, dan peningkatan risiko penyakit jantung. Untuk mencegah efek samping perdarahan lambung, dokter dapat memberikan obat tambahan untuk melindungi lambung.
Kortikosteroid. Kortikosteroid dapat mengurangi peradangan dengan cepat dan efektif. Obat ini biasanya diberikan oleh dokter jika penderita SLE mengalami gejala yang parah atau sedang aktif. Pada tahap awal. obat ini akan diberikan dalam dosis tinggi. Dosis akan diturunkan secara bertahap seiring membaiknya kondisi penderita. Beberapa efek samping yang akan timbul dari obat ini, terutama jika digunakan dalam jangka panjang dan dengan dosis tinggi meliputi pengeroposan tulang, penipisan kulit, bertambahnya berat badan, peningkatan tekanan darah, peningkatan gula darah, dan risiko infeksi. Namun kortikosteroid merupakan pengobatan yang aman dan efektif selama dikonsumsi dengan benar dan di bawah pengawasan dokter.
Hydroxychloroquine. Selain pernah digunakan untuk menangani malaria, obat ini juga efektif untuk mengobati beberapa gejala utama SLE, seperti nyeri sendi dan otot, kelelahan, dan ruam pada kulit. Dokter umumnya akan menganjurkan konsumsi obat ini untuk jangka panjang. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya serangan gejala yang parah, mencegah aktifnya penyakit, dan mencegah munculnya komplikasi yang lebih serius. Keefektifan hydroxychloroquine biasanya akan dirasakan oleh penderita SLE setelah menggunakannya selama 1,5 hingga 3 bulan. Efek samping yang mungkin timbul dari penggunaan obat ini meliputi gangguan pencernaan, diare, sakit kepala, dan ruam pada kulit.
Obat Imunosupresan. Cara kerja obat ini adalah dengan menekan sistem kekebalan tubuh. Ada beberapa jenis imunosupresan yang biasanya diberikan dokter, yaitu azathioprine, mycophenolate mofetil, cyclophosphamide, dan methotrexate. Imunosupresan akan meringankan gejala SLE dengan menghambat kerusakan pada bagian-bagian tubuh yang sehat akibat serangan sistem kekebalan tubuh. Obat ini dapat diberikan bersamaan dengan kortikosteroid, sehingga dosis kortikosteroid dapat diturunkan. Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat imunosupresan antara lain adalah:Muntah.
Kehilangan nafsu makan.
Pembengkakan gusi.
Diare.
Kejang-kejang.
Mudah lebam atau berdarah.
Jerawat.
Sakit kepala.
Bertambahnya berat badan.
Pertumbuhan rambut secara berlebihan.
Risiko terjadinya infeksi akan meningkat akibat penekanan sistem kekebalan tubuh oleh imunosupresan. Gejala infeksi tersebut terkadang mirip dengan gejala aktifnya lupus. Beberapa di antaranya adalah : batuk disetai dengan sesak, demam, diare, sensasi terbakar saat buang air kecil, serta kencing darah (hematuria).
Hindarilah kontak dengan orang yang sedang mengalami infeksi seringan apa pun, meski sudah memiliki kekebalan tubuh terhadap infeksi tersebut, misalnya cacar air atau campak. Penularan mungkin akan tetap terjadi karena kinerja sistem kekebalan tubuh sedang menurun akibat penekanan oleh obat imunosupresan. Obat ini juga dapat menyebabkan kerusakan pada hati. Karena itu, penderita SLE membutuhkan pemeriksaan kesehatan dan tes darah secara rutin selama menggunakan imunosupresan.
Rituximab. Jika obat-obat lain tidak efektif bagi penderita SLE, dokter akan menganjurkan rituximab. Obat ini awalnya dikembangkan untuk menangani kanker, seperti limfoma. Tetapi rituximab terbukti efektif untuk menangani penyakit autoimun, seperti SLE dan rheumatoid arthritis. Cara kerja rituximab adalah dengan mengincar dan membunuh sel B, yaitu sel yang memproduksi antibodi yang menjadi pemicu gejala SLE. Obat ini akan diberikan melalui infus. Efek samping yang dapat muncul dari penggunaan rituximab meliputi pusing, muntah, serta gejala yang mirip flu, misalnya demam dan menggigil. Obat ini juga dapat menimbulkan reaksi alergi, namun jarang terjadi.
Selain obat-obatan yang diberikan, melindungi kulit dari sinar matahari sangat penting bagi penderita lupus. Ruam pada kulit yang dialami penderita SLE dapat bertambah parah jika terpapar sinar matahari. Langkah yang dapat dilakukan untuk melindungi kulit dari sinar matahari adalah:
Mengenakan pakaian yang menutupi seluruh bagian kulit.
Memakai topi yang lebar dan kacamata hitam.
Mengoleskan krim tabir surya (minimal SPF 55 ketika keluar rumah) agar kulit tidak terbakar sinar matahari.
Dengan menghindari paparan sinar matahari, penderita lupus berisiko kekurangan vitamin D, karena sebagian besar vitamin D dibentuk dalam tubuh dengan bantuan paparan sinar matahari. Oleh karena itu, diperlukan pemberian suplemen vitamin D untuk mencegah osteoporosis.
Komplikasi Lupus
Bila gejala lupus (systemic lupus erythematosus/SLE) yang dialami ringan atau terkontrol, lupus tidak mempengaruhi aktivitas sehari-hari dan tidak mengakibatkan komplikasi. Namun untuk beberapa orang, SLE dapat serius dan mengakibatkan komplikasi yang mengancam nyawa.
SLE dan Komplikasi Penyakit Kardiovaskular
SLE dapat menyebabkan inflamasi pada jantung, pembuluh darah (vaskulitis) dan selaput jantung (perikarditis). Komplikasi sering berhubungan dengan pembekuan darah dan aterosklerosis yang mengakibatkan stroke dan serangan jantung. Risiko ini dapat dikurangi melalui langkah-langkah berikut:
Berolahraga secara teratur, setidaknya 2,5 jam dalam seminggu.
Menjaga berat badan dalam batasan ideal dan sehat.
Menerapkan pola makan yang sehat dan seimbang. Hindari makanan yang banyak mengandung lemak jenuh, gula, atau garam. Perbanyaklah konsumsi buah dan sayuran setidaknya lima porsi dalam sehari.
Berhenti merokok.
Membatasi konsumsi minuman beralkohol.
SLE dan Komplikasi Lupus Nefritis
Peradangan yang terjadi pada ginjal untuk waktu yang lama akibat SLE memiliki potensi untuk menyebabkan penyakit ginjal yang lebih serius sampai gagal ginjal dan memerlukan cuci darah. Komplikasi ini disebut sebagai lupus nefritis.
Penyakit ini juga cenderung berkembang pada tahap awal SLE (biasanya dalam lima tahun pertama). Beberapa gejala lupus nefritis meliputi:
Rasa gatal.
Nyeri dada.
Mual,
muntah.
Sakit kepala.
Pusing.
Sering buang air kecil.
Hematuria.
Pembengkakan pada kaki.
SLE dan Komplikasi pada Sel Darah
Anemia, peningkatan risiko perdarahan atau sebaliknya pembekuan darah, dapat diakibatkan oleh lupus.
SLE dan Kehamilan
Penderita SLE wanita harus waspada terhadap komplikasi yang dapat terjadi pada masa kehamilan. Komplikasi tersebut meliputi preeklamsia, kelahiran prematur, dan keguguran. Untuk mengurangi komplikasi, dokter akan menganjurkan untuk menunda kehamilan sampai peyakit terkontrol atau tenang.
SLE dan Komplikasi pada Otak
Jika lupus menyerang otak, gejala yang dirasakan adalah sakit kepala, pusing, perubahan perilaku, halusinasi, bahkan kejang dan stroke. Pada beberapa orang juga dapat mengalami gangguan memori.
Komplikasi Lainnya
Beberapa komplikasi lainnya yang mungkin dapat terjadi akibat lupus adalah:
Infeksi. Dikarenakan penderita lupus memiliki sistem imun yang lebih lemah akibat obat dan penyakit lupus itu sendiri, maka mereka rentan terkena infeksi. Infeksi yang sering terjadi pada penderita lupus biasanya meliputi infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernapasan yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus atau jamur
Kematian jaringan tulang (nekrosis avaskular). Komplikasi ini terjadi pada saat aliran darah ke jaringan tulang berkurang, sehingga menyebabkan kerusakan tulang.
Perubahan Gaya Hidup Bagi Penderita Lupus
Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh penderita dalam menjaga pola hidup sehat adalah:
Mengonsumsi makanan sehat dan bernutrisi seimbang. Penderita lupus sangat dianjurkan untuk menjaga pola makan sehat dan seimbang. Makanan yang sangat dianjurkan untuk selalu dikonsumsi penderita lupus adalah buah-buahan, sayur, dan gandum. Terkadang pembatasan jenis makanan dan minuman tertentu diperlukan pada penderita lupus yang mengalami darah tinggi dan masalah pada ginjal.
Istirahat yang cukup. Penderita lupus sering mengalami kelelahan yang menetap. Oleh karena itu, dianjurkan untuk beristirahat dan tidur secara cukup.
Rutin berolahraga.Olahraga rutin dapat membantu penyembuhan saat lupus dalam fase aktif, menurunkan risiko serangan jantung, membantu mencegah depresi, serta menjaga kesehatan fisik secara umum.
Kontrol kepada dokter secara rutin. Untuk memantau perkembangan gejala lupus serta mencegah terjadinya komplikasi, penderita lupus dianjurkan untuk melakukan pengecekan medis secara rutin.
Berhenti merokok. Menurut penelitian, tembakau diduga dapat meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit lupus. Karena itu disarankan untuk menghindari atau berhenti dari kebiasaan merokok untuk menekan risiko terjadinya penyakit ini.
Sumber : www.allodokter.com
Comments